Selasa, 15 Maret 2011

Anonim

"Anonim Satu"

Aku buatkan kopi hitam untukmu
Biar rinduku bisa menyapamu
Dan kau terlihat anggun
Saat kau teguk
Secangkir kopi buatanku


"Anonim Dua"

Kamu tahu aku selalu rindu
Pada secangkir kopi buatanmu yang sedikit merayu
Tapi aku malu, malu membujukmu
Aku tunggu saja, sampai kau mau
Memberikan cangkir itu untukku


"Anonim Tiga"

Menulis lagi...
Kali ini tentang senyum yang tak henti kubentuk di wajah.
Masih ingat dengan jelas saat dia datang dengan tatapan malu.
Tas cangklong, kelom berpita, dan sedikit malu-malu memesan segelas kopi.
Aku terbelalak, takjub, tak percaya dan setengah bersyukur.
Karna menemukan mahluk sejenis yang juga penggila kopi.
Mahluk yang pernah mengaku tak bisa apa-apa ini membuatku tersenyum malam ini.
Karna dia membuat seseorang yang kusayang juga tersenyum.

Sabtu, 12 Maret 2011

Sebuah Pujian Kecil


Sudah lama saya tidak berlatih menulis lagi, berlatih menjadi penulis amatir walaupun kata orang kurang komersil. Yang saya tulis, hanyalah latihan menulis, bukan mendadak jadi novelis. Saya jadi ingat satu testimonial yang ditulis dosen saya tentang tulisan saya waktu itu, beliau memberikan penghargaan sederhana untuk saya, padahal hanya sebuah catatan harian yang tidak menarik. beliaulah orang pertama yang menilai tulisan saya, membuat saya lebih percaya diri untuk tidak sekedar menulis. Tapi kata-kata beliau mampu mendorong saya untuk menemukan dan mengeksplorasi potensi yang ada pada diri saya. Saya sangat mengagumi beliau, bukan sekedar pujiannya, tapi saya belajar, belajar banyak hal dari beliau. Belajar bagaimana kita seharusnya menghargai orang lain, memberikan kata-kata terbaik dengan tulus, memberi kebahagiaan untuk orang lain, bahkan hanya sekedar memberikan senyuman. sekecil apapun pemberian kita, itu akan memberikan efek yang besar terhadap kehidupan seseorang.

Ternyata betapa berartinya sebuah pujian untuk seseorang, sekalipun itu hanya satu kata. dengan sedikit makna. Dengan tidak melecehkan seseorang dengan kata-kata yang buruk, entah itu hanya kata becandaan seperti “goblok”, “jelek”, “bodoh”, “tidak tahu diri” bisa jadi kata itu memiliki pengaruh buruk untuk orang lain. Jadi Kenapa tidak jika kita membentuk kata yang membangun dan menghargai orang dengan tulus, membuatnya menjadi kekuatan yang luar biasa. Mulailah kita menerima keberadaan seseorang, kekurangannya, kelemahannya, Sekalipun kita tidak suka, belajarlah untuk menyukainya membuatnya berubah dengan menghargainya bukan melecehkannya. Jangan pernah mencibir pecandu narkoba, cobalah untuk tidak memandang sebelah mata kepada mereka yang terjangkit virus HIV, mendiskriminasi mantan narapidana, dan bergunjing tentang seorang pelacur, mereka juga butuh penerimaan, butuh penghargaan, butuh didengarkan, melecehkan bukan satu-satunya jalan untuk memahami mereka. Mulailah membangun komunitas yang baik antar sesama. Mungkin ini bisa jadi solusi yang baik!

Menerjemahkan Duniamu



Bersama malam mereka merangkai kata menjadi cerita

Wajah-wajah abstrak yg bersarang

pada tawa, tangis ,dan beribu rasa

Meninggalkan setengahnya untuk dinikmati

Semua semu tp hasrat mereka menggebu


Selasa, 08 Maret 2011

Bunga Ungu


Kamu pulang membawa bunga yang kamu buru sejak dulu tepat saat aku sedang menutup pintu. kamu bilang tunggu dulu, bunga ini untukmu maka ijinkan kau untuk ku peluk. aku ikut saja, karna sejak dua hari lalu aku selalu menunggumu. menunggu pelukmu yang ke seribu.

Kita duduk lagi dibangku taman yang sejak kemarin kosong. kamu mengambil bunga yang ku pangku, terus menyematkan bunga ungu itu diwajahku yang ragu. ragu kalau bunga itu tak cocok diwajahku. "cantik" hanya itu kata yang terselip dari senyummu, aku terpaku padahal sebenarnya tersipu malu.

Kamu berdiri meresapi senja yang senyap, katamu "tidak ada camar yang melayang" kamu menarik tanganku mengajakku berlari lagi. "Kita kemana?" tanyaku samar, kamu hanya tertawa memilih mamandang jauh kelangit. "kita mencari awan sebelum dia ikut menghilang" dan lagi-lagi aku ikut saja.

Minggu, 06 Maret 2011

Setengah Dirimu


Diruang tidur ini hanya ada aku dan setengah dirimu
Dikelilingi tembok hijau tak jelas, bahkan mulai retak dimakan waktu.
Debu disudut meja yang mulai membatu, irama yang masih sama Ditiga tahun bersama.
Cahaya malam yang masuk melalui lubang-lubang kecil yang tidak tertutup rapat.
Saat itulah aku dan dirimu masih berdiskusi tentang cinta yang menggantung dijantung.
Bersaing dengan denting malam yang menunggu hasil akhir diskusi kita.
Waktu seperti pembunuh
siap menikam dan menghujam dengan sebilah benda tajam yang digenggamnya erat.
Bibir ini beku, lidah ini kelu, hampir saja menjalar dan buat tubuhku kaku.
Perasaan ini tak kunamai
Dan tak harus kuberikan identitas agar dia terlihat realitas untukku dan untuk setengah dirimu.

Catatan ketika rindu tak lagi menggebu.

Aku marah bibirku bergetar...
Aku marah mataku memerah...
Aku marah hatiku terbakar...

Tidak Seperti biasa saat raga fiktif kita bersinggungan...
Entah kesal atau lelah
kamu diam malam itu...
Dan nyaris terlihat tolol!

Sesak,berat,menyiksa...
membuatku semakin tertekan...
Sepi,gelap,buta...
Membuatku semakin tersesat...

Tak kau tahukah itu?
Terkunci,Saat Aku ingin bicara, Saat Aku ingin bersenggama dengan hatimu...
Dasar Bodoh,Kau juga tidak mengerti,malah bicara romantika cinta yang semiotika...

Entah kesal atau lelah aku ingin pergi saja...

Dalam sebuah catatan aku menyimpan rindu yang sudah membatu...

Sabtu, 05 Maret 2011

Kopi dan Pinggiran Roti

Hey Kopi...
Aku ingat bagaimana dia memanggilku ketika wajahku mulai sendu karena rindu, sambil membawa segelas kopi yang sedikit merayu. lagi-lagi aku terbujuk. kita duduk lagi sebangku dan menertawakan malam rabu. "kamu mau?" menyodorkan beberapa lembar roti tawar padaku. aku tersenyum mengambilnya dan diam. seperti biasa saat kita sedang bersama, masing-masing dari kami tahu roti bagian mana, untuknya dan untukku. aku mulai menyisihkan pingggiran roti dan dia menunggu rindu dariku. "Aneh, kamu selalu memilih pinggiran roti" sambil terus menatapku heran. "kamu tahu? pinggiran roti ini tidak akan membuatmu lebih berisi" dia melanjutkan kata-katanya seakan aku peduli. "ini untukmu?" aku memberinya bagian tengah roti. "aku ingin kamu gemuk" kataku sekenanya sambil memakan pinggiran roti bersama kopi. Dia pun tersenyum dipikirnya aku sedang melucu, Malam rabu yang tinggal tujuh menit dengan rindu yang menuju.

Kamis, 03 Maret 2011

Dipinggir trotoar sebelum tengah malam

Tidak seperti biasanya saya pulang lebih cepat hari ini, satu jam sebelum waktu tengah malam, beberapa jam sebelum coffe break tutup. hanya menghabiskan satu setengah gelas kopi hitam , sedikit pahit digelas pertama dan terlalu manis disetengah gelas kedua. ah..sebenarnya agak malas juga pulang lebih cepat, jalanan masih ramai, lampu merah masih aktif dengan aturannya. masih ada si ijo-ijo diperempatan jalan.

Saya berkendara lebih lambat, bahkan dibawah kecepatan rata-rata. tiba-tiba saya berniat berhenti dipinggir trotoar, memakirkan kendaraan dan turun. saya duduk, menarik napas, dan diam. saya baru sadar saya berhenti persis didepan kantor dimana saya dulu bekerja. kantor ini sepi. tidak ada aktivitas apa-apa. PT.blablabla tertulis dengan huruf-huruf balok berwarna biru. disampingnya ada logo perusahaan yang dulu tiap hari saya plototin. "kantor ini masih sama" dulu saya pernah hidup normal dari sini. Seperti kebanyakan orang menjalani hidupnya. punya pekerjaan tetap, gaji bulanan, dan rutinitas yang sama tiap harinya. paling tidak ketika ditanya "kerja dimana?" sudah ada jawaban mutlak tanpa harus hemmm...hummmm...ehmmm....

Apa saya menyesal meninggalkan itu semua? tidak. sama sekali tidak. saya juga tidak menyesal pernah bekerja diperusahaan itu. saya banyak belajar, banyak mengerti, minimal saya menyadari hidup itu harus berani menentukan pilihan. sama seperti sekarang, saya memilih duduk dipinggir trotoar memahami malam dengan semua intriknya. tidak harus cepat pulang, karena harus tidur, supaya tidak terlambat kekantor. saya biarkan tangan tuhan membawa saya kemanapun dia mau, saya percaya takdir, saya percaya pilihan tuhan, karena tidak ada satupun yang kebetulan di dunia ini :)

Saya pun pulang dan meninggalkan semua kenyamanan itu dipinggir trotoar...


Sejam,lewat semenit,empat detik

Satu hal yang paling saya sukai ketika saya pulang sendirian ditengah malam, setelah selesai bercumbu dengan beberapa cangkir kopi adalah saya bebas memiliki malam. Saat sedang berkendara saya bebas berkelak-kelok ditengah jalan, berada ditengah, dipinggir, tanpa takut ada kendaraan lain yang menabrak kendaraan saya. saya tidak perlu takut itu karena hanya ada saya diatas jalan raya seperti sedang menari-nari dilantai dansa berwarna hitam. Selanjutnya saya bebas menertawai lampu merah, yah, tidak ada tanda merah atau hijau yang harus saya ikuti. Mau berhenti atau jalan terus ya suka-suka saya. toh tidak ada orang-orangan bodoh dengan rompi hijau yang selalu mengejar disiang hari. Menari, menertawai, hahaha suatu hal konyol yang saya nikmati ketika pulang sendirian. Selalu dan berulang. Menegaskan saya sendirian.

Malam ini saya pulang tengah malam lagi, nyaris lewat tengah malam. hujan memaksa saya membubarkan diri dari obrolan-obrolan manis diwarung kopi. Saya bergegas pulang lebih dulu, setelah membayar dua gelas cangkir kopi yang sedikit pahit. Cukup cepat saya tiba dirumah, saya sengaja melaju lebih cepat dari biasanya, tidak ada adegan menari-nari ditengah jalan raya, saya pun melewati begitu saja lampu merah yang berkedap-kedip, kini tubuh saya sudah berbaring dan menatap langit-langit kamar. Diam. Saya hanya bisa diam menatap banyak hal yang menggantung dan mematung diatas sana. tangan kanan saya berpindah tempat, memegangi dada dibagian kiri yang terasa aneh. Jantung saya berdebar lebih cepat, cepat sekali, saya pun tidak bisa mengikuti iramanya. Saya berpikir saya akan mati. Sedikit lagi saya mati. Tinggal tunggu menit yang berhenti.

Jantungku masih berdetak kali ini membuat saya sedikit tidak bergerak, “gara-gara kopi itu ta” pesan singkat yang saya terima dari seorang teman. “bukan, bukan kopi” balasku ngotot. Sesuatu pasti akan terjadi. Entah apa. Sejam, lewat semenit, empat detik, ini bukan kopi tapi patah hati. Akhirnya saya menemukan jawabannya. Yah saya patah hati, didetik terakhir, Jantungpun berhenti,saya mati.



(01 Maret 2011)