Senin, 26 Desember 2011

Menjadi Penakut


Saya menjadi penakut akhir-akhir ini, seperti ada rasa was-was dan terlalu berhati-hati, tidak hanya berjalan atau pulang tengah malam sendiri, bahkan untuk memikirkan diri sendiri ditahun depan kaki saya langsung lemas, jantung rasanya berdetak cepat sekali, saya lantas menjadi penakut. 

Seperti pagi ini saat saya berniat membuat secangkir kopi untuk meminimalisir rasa ngantuk karna tidur larut semalam, baru saja saya hendak menaruh satu sendok kopi tiba-tiba saja saya mengembalikan lagi ketempatnya semula. Rasa takut kafein dalam tubuh yang tidak pernah saya hiraukan selama ini tiba-tiba mengganggu pikiranku. Saya menjadi gelisah melihat cangkir kopi yang belum terisi apa-apa.

Ibu, saya menjadi penakut ketika melihat ibu yang seharian tidur dikasur tanpa mendengkur seperti biasanya. saya memperhatikan seluruh wajahnya, tubuhnya, hanya untuk memastikan masih ada tarikan nafas disana. saya menjadi penakut kalau saja tiba-tiba Tuhan Mengujiku dengan menjemput ibu seperti ayah dulu.
  
Saya kembali kekamar berdiri didepan cermin besar yang melebihi tinggi badanku. aku memperhatikan tubuhku yang setengah telanjang karna ditutup handuk berwarna  jingga. warna yang tak pernah pantas untukku. aku memperhatikan setiap inci kulitku. selama ini aku terlalu berani, berani menghadapi apapun sendiri dengan tubuh ini. tubuh yang menatapku dengan penakut.

*Menjadi Penakut itu perlu, sekedar supaya kau tahu bahwa Keberanian bukan untuk melawan kehidupan*

Rabu, 02 November 2011

Menjadi Gemini, Menjadi Antagonis


Seminggu terakhir saya menjadi seseorang yang menyebalkan, "kau ini menjengkelkan" kalimat yang paling sering saya dengar dari dia. tanpa peduli apa yang dia katakan saya malah cuek menimpali "kau juga menyebalkan" hati pun ikut-ikutan nyaut "kita sama" kemudian hening. kalau sudah begini, saya mulai mengaktifkan EGO, saya mulai menjadi Gemini yang labil, saya mulai Antagonis dengan sekeliling saya "iyah saya tahu, kamu tidak suka ini", kamu tidak suka kalau saya mulai seperti ini.

Perempuan yang mudah berubah-ubah, mood yang tidak stabil, kadang bisa sangat antusias, kadang bisa datar dan hanya diam. "saya memang seperti ini, kamu harus terbiasa" saya mulai membela diri, mulai mencari alasan yang harus kamu terima, saya mulai menjadi antagonis, gemini yang mulai menjadi-jadi. kamu geram, rahangmu bergetar. aku tetap datar.

Hari diminggu terakhir, dia tidak pernah pergi, masih berdiri disisi perempuan gemini yang antagonis. kali ini kamu tidak menjejaliku dengan pertanyaan, "kenapa?ada apa?" yang biasanya membuat diam-ku semakin menjadi dan mengunci diri. hari itu dia mengikuti semua mauku, membiarkanku meminum bergelas-gelas kopi, mendengarkan kalimat-kalimat 'tak suka-ku" pada apapun, mengantarkanku kemana pun saya mau, dia hanya melihat tingkahku, tingkahku yang semakin uring-uringan tak jelas. tatapannya membuatku kembali mengatakan kalimat pembelaan "saya memang seperti ini, kamu harus mengerti"

Dari balik punggungku, aku mendengar tarikan nafasnya, kali ini lebih tenang...
"biarkan saya terbiasa" katanya...

Kamis, 13 Oktober 2011

Hampir pagi, dan dua cangkir lagi.



Yah… menulis lagi, ngalong lagi, menunggui pagi sejak dingin, aku tlah membuatnya terkejut karna melihatku lagi disudut bibir matahari. Kali ini gara-gara kopi yang kuteguk lebih dari sekali, kopi kendari yang diracik dan disajikan untukku dari salah satu teman yang kuanggap seperti kakakku sendiri. Kembali tak bisa tidur, dan memilih sendiri menelanjangi malam habis-habisan. Aku tak ingin tidur, aku tak ingin menghibur, aku ingin disini saja di dunia nyataku yang sedikit lebih menarik. Menikmati Hormon epinefrin pada degub jantungku yang kembali bekerja lebih cepat, bermain dengan rindu yang berulang, mengiris sepi hingga menipis.

Kalau biasanya aku langsung mengkoneksikan diri dengan dunia maya, malam ini aku memilih menghabiskan dua novel roman pemberian seseorang yang sudah menemaniku selama delapan bulan terakhir. Seseorang yang tlah mengajakku melewati “petualangan penuh romantic” diusia yang menurut keluarga besarku, usia yang harusnya lebih getol memikirkan “pernikahan”. Mungkin kalau nenek dari ibu masih hidup aku akan segera dinikahkannya dengan anak juragan kerupuk atau anak pemilik pesantren. Cerita ini kudengar dari saudara-saudara ibuku waktu aku pulang ke Jawa dua tahun lalu, usiaku yang saat itu menginjak 23 tahun memicu topic “pernikahan dan perjodohan” ala siti nurbaya. untunglah tradisi perjodohan yang sudah melekat bertahun-tahun dalam keluargaku kini sudah tidak berlaku lagi. Kalaupun masih, mungkin caranya agak berbeda, misalnya dengan trik membawa anak mereka ke arisan keluarga, mulailah ajang saling “mengenalkan” meramaikan suasana. Perjodohan terselubungpun berlanjut.

Ah sudahlah, aku tak ingin mengingat pernikahan, aku tak menginginkan perjodohan, aku mau mengingat dia saja dari sisa-sisa kafein dalam tubuhku, aku hanya menginginkan kamu yang selalu membujukku untuk mengganti cangkir-cangkir kopi dengan segelas air putih. Seseorang yang selalu membenahi letak jantungku, sepasang mata yang membuatku selalu rindu tanpa ragu. ya dia,cangkir kopi keduaku. Aku mencintai kamu…tanpa harus.

Minggu, 17 Juli 2011

Kopi Setengah Fiksi III




hey coffe
Ini bukan pertama kalinya aku menulis tentangmu
 Tentangmu yang mau jadi apa saja untuk ku
Bahkan sejak gelas kopi pertama yang kau buat malam itu

Ya kamu! telah menjadi kata pertama dalam setiap kalimatku...


Kalau pada batas ini aku tak lagi menulis tentangmu

Bukan karena bosan merindu

Bukan pula karena Rindu yang meredup

Lebih lagi bukan karena tak mau...bukan itu!


hey coffe

Tak perlu kau memburu ragu padaku

Atau cemburu pada setiap huruf yang bukan tentangmu.

Cintaku ini menggebu, hingga tak mampu melekukkan kata.

Untukmu lelakiku...

Biarlah kukecup duniamu, mengganti kata yang kau rindu!

Selasa, 12 Juli 2011

Kopi Setengah Fiksi II

Aku mengenalnya sejak tiga tahun lalu.
Sebatas tatapan mata yang berulang.
tiap kali ia memesan secangkir kopi sedikit pahit padaku.
sejak itu, rindupun menggantung tanpa ia tahu.

Jumat, 08 Juli 2011

Kopi setengah Fiksi

 Dia selalu memberikan campuran susu kedalam cangkir kopiku. katanya, kamu tetap bisa menikmati romantisme secangkir kopi buatanku, meskipun tak hitam pekat...seperti maumu!

Senin, 25 April 2011

GAZA

GaZa
Aku ingat saat pertama kali kita berkenalan
Dibawah lampu remang-remang warung kopi milik ibumu
Aku duduk disofa kulit warna hitam melihatmu yang asik bermain ponsel
Sudah tujuh kali aku menyapa dan membujukmu untuk kupeluk
Kamu masih juga belum mengenal wajahku...

Aku datang lagi diminggu ketujuh
Kata ibumu, pengasuh tak lagi menjagamu
Sedang ibumu sibuk dengan pesanan kopi yang menunggu
Kalau sudah seperti itu, kamu cukup ditemani pendingin ruangan dan siaran televisi
Aku melirikmu yang sama sekali tak melirik kehadiranku
Lucu, kamu malah terpaku dengan iklan home shoping ditelevisi
Hanya sekali menengokku sambil berteriak ketika iklan berganti
Memberiku isyarat untuk mencari tayangan yang sama
Berulang, setiap kali aku datang

Minggu kesepuluh...
Kamu sudah mau kupeluk
Mungkin sudah hafal wajahku :)



Sabtu, 09 April 2011

Lelaki Pemecah Perempuan Batu

Sebelum pagi yang kukatakan pada lelaki

Lelaki yang mau jadi apa saja untuk perempuan yang berjalan setelah malam

Perempuan yang hatinya sekeras batu meskipun hanya mengucap rindu

Lelaki menyebutnya garang seperti elang, tapi bisa terbang dengan tenang

Untuk perempuan yang hatinya sekeras batu

Tidak perlu malu jika nanti kamu mengaku cemburu

Rabu, 06 April 2011

Ibu di Balik Pintu

Bu…saat biru berubah kelabu aku pulang kerumahmu

Kau menyuruhku masuk ketika pintu baru sekali ku ketuk

Aku menunduk melewatimu waktu kau ingin memeluk

Bu…saat biru berubah kelabu aku pulang kerumahmu

Kali ini tanpa lelaki yang dulu kau anggap lugu dan bisa menjagaku

Jangan membisu bu, jika kau lihat rona merah diwajahku jadi membiru

Jangan membisu bu, jika yang kau lihat hanya sendu dari bibirku

Jangan membisu bu, ketika tubuh kurusku bersembunyi dibalik selimut

Dan dari balik pintu,

aku tahu Kau mengutuk lelaki yang kau anggap lugu dan bisa menjagaku…

Selasa, 15 Maret 2011

Anonim

"Anonim Satu"

Aku buatkan kopi hitam untukmu
Biar rinduku bisa menyapamu
Dan kau terlihat anggun
Saat kau teguk
Secangkir kopi buatanku


"Anonim Dua"

Kamu tahu aku selalu rindu
Pada secangkir kopi buatanmu yang sedikit merayu
Tapi aku malu, malu membujukmu
Aku tunggu saja, sampai kau mau
Memberikan cangkir itu untukku


"Anonim Tiga"

Menulis lagi...
Kali ini tentang senyum yang tak henti kubentuk di wajah.
Masih ingat dengan jelas saat dia datang dengan tatapan malu.
Tas cangklong, kelom berpita, dan sedikit malu-malu memesan segelas kopi.
Aku terbelalak, takjub, tak percaya dan setengah bersyukur.
Karna menemukan mahluk sejenis yang juga penggila kopi.
Mahluk yang pernah mengaku tak bisa apa-apa ini membuatku tersenyum malam ini.
Karna dia membuat seseorang yang kusayang juga tersenyum.

Sabtu, 12 Maret 2011

Sebuah Pujian Kecil


Sudah lama saya tidak berlatih menulis lagi, berlatih menjadi penulis amatir walaupun kata orang kurang komersil. Yang saya tulis, hanyalah latihan menulis, bukan mendadak jadi novelis. Saya jadi ingat satu testimonial yang ditulis dosen saya tentang tulisan saya waktu itu, beliau memberikan penghargaan sederhana untuk saya, padahal hanya sebuah catatan harian yang tidak menarik. beliaulah orang pertama yang menilai tulisan saya, membuat saya lebih percaya diri untuk tidak sekedar menulis. Tapi kata-kata beliau mampu mendorong saya untuk menemukan dan mengeksplorasi potensi yang ada pada diri saya. Saya sangat mengagumi beliau, bukan sekedar pujiannya, tapi saya belajar, belajar banyak hal dari beliau. Belajar bagaimana kita seharusnya menghargai orang lain, memberikan kata-kata terbaik dengan tulus, memberi kebahagiaan untuk orang lain, bahkan hanya sekedar memberikan senyuman. sekecil apapun pemberian kita, itu akan memberikan efek yang besar terhadap kehidupan seseorang.

Ternyata betapa berartinya sebuah pujian untuk seseorang, sekalipun itu hanya satu kata. dengan sedikit makna. Dengan tidak melecehkan seseorang dengan kata-kata yang buruk, entah itu hanya kata becandaan seperti “goblok”, “jelek”, “bodoh”, “tidak tahu diri” bisa jadi kata itu memiliki pengaruh buruk untuk orang lain. Jadi Kenapa tidak jika kita membentuk kata yang membangun dan menghargai orang dengan tulus, membuatnya menjadi kekuatan yang luar biasa. Mulailah kita menerima keberadaan seseorang, kekurangannya, kelemahannya, Sekalipun kita tidak suka, belajarlah untuk menyukainya membuatnya berubah dengan menghargainya bukan melecehkannya. Jangan pernah mencibir pecandu narkoba, cobalah untuk tidak memandang sebelah mata kepada mereka yang terjangkit virus HIV, mendiskriminasi mantan narapidana, dan bergunjing tentang seorang pelacur, mereka juga butuh penerimaan, butuh penghargaan, butuh didengarkan, melecehkan bukan satu-satunya jalan untuk memahami mereka. Mulailah membangun komunitas yang baik antar sesama. Mungkin ini bisa jadi solusi yang baik!

Menerjemahkan Duniamu



Bersama malam mereka merangkai kata menjadi cerita

Wajah-wajah abstrak yg bersarang

pada tawa, tangis ,dan beribu rasa

Meninggalkan setengahnya untuk dinikmati

Semua semu tp hasrat mereka menggebu


Selasa, 08 Maret 2011

Bunga Ungu


Kamu pulang membawa bunga yang kamu buru sejak dulu tepat saat aku sedang menutup pintu. kamu bilang tunggu dulu, bunga ini untukmu maka ijinkan kau untuk ku peluk. aku ikut saja, karna sejak dua hari lalu aku selalu menunggumu. menunggu pelukmu yang ke seribu.

Kita duduk lagi dibangku taman yang sejak kemarin kosong. kamu mengambil bunga yang ku pangku, terus menyematkan bunga ungu itu diwajahku yang ragu. ragu kalau bunga itu tak cocok diwajahku. "cantik" hanya itu kata yang terselip dari senyummu, aku terpaku padahal sebenarnya tersipu malu.

Kamu berdiri meresapi senja yang senyap, katamu "tidak ada camar yang melayang" kamu menarik tanganku mengajakku berlari lagi. "Kita kemana?" tanyaku samar, kamu hanya tertawa memilih mamandang jauh kelangit. "kita mencari awan sebelum dia ikut menghilang" dan lagi-lagi aku ikut saja.

Minggu, 06 Maret 2011

Setengah Dirimu


Diruang tidur ini hanya ada aku dan setengah dirimu
Dikelilingi tembok hijau tak jelas, bahkan mulai retak dimakan waktu.
Debu disudut meja yang mulai membatu, irama yang masih sama Ditiga tahun bersama.
Cahaya malam yang masuk melalui lubang-lubang kecil yang tidak tertutup rapat.
Saat itulah aku dan dirimu masih berdiskusi tentang cinta yang menggantung dijantung.
Bersaing dengan denting malam yang menunggu hasil akhir diskusi kita.
Waktu seperti pembunuh
siap menikam dan menghujam dengan sebilah benda tajam yang digenggamnya erat.
Bibir ini beku, lidah ini kelu, hampir saja menjalar dan buat tubuhku kaku.
Perasaan ini tak kunamai
Dan tak harus kuberikan identitas agar dia terlihat realitas untukku dan untuk setengah dirimu.

Catatan ketika rindu tak lagi menggebu.

Aku marah bibirku bergetar...
Aku marah mataku memerah...
Aku marah hatiku terbakar...

Tidak Seperti biasa saat raga fiktif kita bersinggungan...
Entah kesal atau lelah
kamu diam malam itu...
Dan nyaris terlihat tolol!

Sesak,berat,menyiksa...
membuatku semakin tertekan...
Sepi,gelap,buta...
Membuatku semakin tersesat...

Tak kau tahukah itu?
Terkunci,Saat Aku ingin bicara, Saat Aku ingin bersenggama dengan hatimu...
Dasar Bodoh,Kau juga tidak mengerti,malah bicara romantika cinta yang semiotika...

Entah kesal atau lelah aku ingin pergi saja...

Dalam sebuah catatan aku menyimpan rindu yang sudah membatu...

Sabtu, 05 Maret 2011

Kopi dan Pinggiran Roti

Hey Kopi...
Aku ingat bagaimana dia memanggilku ketika wajahku mulai sendu karena rindu, sambil membawa segelas kopi yang sedikit merayu. lagi-lagi aku terbujuk. kita duduk lagi sebangku dan menertawakan malam rabu. "kamu mau?" menyodorkan beberapa lembar roti tawar padaku. aku tersenyum mengambilnya dan diam. seperti biasa saat kita sedang bersama, masing-masing dari kami tahu roti bagian mana, untuknya dan untukku. aku mulai menyisihkan pingggiran roti dan dia menunggu rindu dariku. "Aneh, kamu selalu memilih pinggiran roti" sambil terus menatapku heran. "kamu tahu? pinggiran roti ini tidak akan membuatmu lebih berisi" dia melanjutkan kata-katanya seakan aku peduli. "ini untukmu?" aku memberinya bagian tengah roti. "aku ingin kamu gemuk" kataku sekenanya sambil memakan pinggiran roti bersama kopi. Dia pun tersenyum dipikirnya aku sedang melucu, Malam rabu yang tinggal tujuh menit dengan rindu yang menuju.

Kamis, 03 Maret 2011

Dipinggir trotoar sebelum tengah malam

Tidak seperti biasanya saya pulang lebih cepat hari ini, satu jam sebelum waktu tengah malam, beberapa jam sebelum coffe break tutup. hanya menghabiskan satu setengah gelas kopi hitam , sedikit pahit digelas pertama dan terlalu manis disetengah gelas kedua. ah..sebenarnya agak malas juga pulang lebih cepat, jalanan masih ramai, lampu merah masih aktif dengan aturannya. masih ada si ijo-ijo diperempatan jalan.

Saya berkendara lebih lambat, bahkan dibawah kecepatan rata-rata. tiba-tiba saya berniat berhenti dipinggir trotoar, memakirkan kendaraan dan turun. saya duduk, menarik napas, dan diam. saya baru sadar saya berhenti persis didepan kantor dimana saya dulu bekerja. kantor ini sepi. tidak ada aktivitas apa-apa. PT.blablabla tertulis dengan huruf-huruf balok berwarna biru. disampingnya ada logo perusahaan yang dulu tiap hari saya plototin. "kantor ini masih sama" dulu saya pernah hidup normal dari sini. Seperti kebanyakan orang menjalani hidupnya. punya pekerjaan tetap, gaji bulanan, dan rutinitas yang sama tiap harinya. paling tidak ketika ditanya "kerja dimana?" sudah ada jawaban mutlak tanpa harus hemmm...hummmm...ehmmm....

Apa saya menyesal meninggalkan itu semua? tidak. sama sekali tidak. saya juga tidak menyesal pernah bekerja diperusahaan itu. saya banyak belajar, banyak mengerti, minimal saya menyadari hidup itu harus berani menentukan pilihan. sama seperti sekarang, saya memilih duduk dipinggir trotoar memahami malam dengan semua intriknya. tidak harus cepat pulang, karena harus tidur, supaya tidak terlambat kekantor. saya biarkan tangan tuhan membawa saya kemanapun dia mau, saya percaya takdir, saya percaya pilihan tuhan, karena tidak ada satupun yang kebetulan di dunia ini :)

Saya pun pulang dan meninggalkan semua kenyamanan itu dipinggir trotoar...


Sejam,lewat semenit,empat detik

Satu hal yang paling saya sukai ketika saya pulang sendirian ditengah malam, setelah selesai bercumbu dengan beberapa cangkir kopi adalah saya bebas memiliki malam. Saat sedang berkendara saya bebas berkelak-kelok ditengah jalan, berada ditengah, dipinggir, tanpa takut ada kendaraan lain yang menabrak kendaraan saya. saya tidak perlu takut itu karena hanya ada saya diatas jalan raya seperti sedang menari-nari dilantai dansa berwarna hitam. Selanjutnya saya bebas menertawai lampu merah, yah, tidak ada tanda merah atau hijau yang harus saya ikuti. Mau berhenti atau jalan terus ya suka-suka saya. toh tidak ada orang-orangan bodoh dengan rompi hijau yang selalu mengejar disiang hari. Menari, menertawai, hahaha suatu hal konyol yang saya nikmati ketika pulang sendirian. Selalu dan berulang. Menegaskan saya sendirian.

Malam ini saya pulang tengah malam lagi, nyaris lewat tengah malam. hujan memaksa saya membubarkan diri dari obrolan-obrolan manis diwarung kopi. Saya bergegas pulang lebih dulu, setelah membayar dua gelas cangkir kopi yang sedikit pahit. Cukup cepat saya tiba dirumah, saya sengaja melaju lebih cepat dari biasanya, tidak ada adegan menari-nari ditengah jalan raya, saya pun melewati begitu saja lampu merah yang berkedap-kedip, kini tubuh saya sudah berbaring dan menatap langit-langit kamar. Diam. Saya hanya bisa diam menatap banyak hal yang menggantung dan mematung diatas sana. tangan kanan saya berpindah tempat, memegangi dada dibagian kiri yang terasa aneh. Jantung saya berdebar lebih cepat, cepat sekali, saya pun tidak bisa mengikuti iramanya. Saya berpikir saya akan mati. Sedikit lagi saya mati. Tinggal tunggu menit yang berhenti.

Jantungku masih berdetak kali ini membuat saya sedikit tidak bergerak, “gara-gara kopi itu ta” pesan singkat yang saya terima dari seorang teman. “bukan, bukan kopi” balasku ngotot. Sesuatu pasti akan terjadi. Entah apa. Sejam, lewat semenit, empat detik, ini bukan kopi tapi patah hati. Akhirnya saya menemukan jawabannya. Yah saya patah hati, didetik terakhir, Jantungpun berhenti,saya mati.



(01 Maret 2011)

Jumat, 25 Februari 2011

Setengah dua pagi untuk sebuah kopi


Setengah dua pagi untuk sebuah kopi...
Malam ini saya menghabiskan waktu lagi ditempat yang membuat saya selalu ingin kembali. sekarang saya lebih sering ketempat ini, tidak hanya sekedar rapat redaksi bersama teman-teman di stepmagz, tapi bertemu dengan orang-orang yang luar biasa untuk mengisi otak dan hati saya. aroma kopi, suasana temaram, dan obrolan ringan penuh makna membuat saya jatuh cinta i feels like home.
This Place is coffe break, yah dari namanya mungkin sudah ketahuan kalau tempat ini menu utama yang dijual adalah kopi. saya sering memesan kopi hitam, walaupun waktu pertama kali jadi pelanggan disini saya memesan secangkir hot chocolate (hahaha gaya) padahal sumpaaah saya sudah sakau mencium aroma kopi saat tubuh saya tepat berada dibibir pintu cafe.
Tempat ini seperti pintu buat saya, pintu dimana saya terhubung dengan orang-orang luar biasa seperti apa yang saya bilang sebelumnya. untuk ukuran saya mereka sudah sangat luar biasa. menularkan semangat, mengajarkan kreatifitas, yang paling penting disini saya belajar bagaimana percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin kalau kita bersungguh-sungguh, tidak ada hasil yang NOL kalau kita bekerja keras. meskipun kita memiliki banyak kekurangan. ah, saya merasa kembali menjadi seorang anak kecil yang bergaya ala superman dan percaya saya bisa menjadi superhero :)
Kali ini saya belajar lagi dari seorang teman, teman yang baru saja saya kenal sebulan terakhir ini di coffe break, ELDIANSYAH ANCHA LATIEF saya sering memanggilnya K'ancha yah ini ada hubungannya dengan etika karna dia setahun lebih tua dari saya.hehehe. Hari ini k'ancha dapat kabar yang memang benar-benar dia tunggu, saya yang lagi rapat redaksi disalah satu meja melihat kehebohan disudut meja dimana k'ancha dan beberapa teman lainnya biasa duduk. awalnya saya pikir k'ancha menang undian atau mendapat kabar kalau ungkapan cintanya sama seorang cewek akhirnya terjawab hahaha. sedikit penasaran awalnya, tapi saya harus konsentrasi mengikuti rapat redaksi. setelah beberapa jam rapat redaksipun kelar, saya kembali ikutan bergabung duduk disofa kulit berwarna hitam disudut kafe masih dengan rasa penasaran tentang kehebohan itu. dengan pertanyaan kecil "ada apa?" akhirnya rasa penasaran saya terjawab, ternyata sebuah kabar yang membanggakan mengisi inbox handphonenya. salah satu film hasil karyanya masuk dalam tiga besar. :)
Tidak banyak yang saya tahu tentang kehidupan k'ancha, selain sering adu argumen dengan saya tentang foto dan kisah tragisnya yang tidak bisa saya publish disini hehehe. kalau disuruh sebutkan satu kata untuk menggambarkan dia, saya memilih kata FILM, yah Film. khususnya untuk film dokumenter k'ancha sudah melahirkan beberapa karya, yang membuat saya speechless. kenapa? semua hasil karyanya Minim Fasilitas alias seadanya tapi yang dihasilkan tidak sekedar ala kadarnya.
Dan malam ini Film ketiganya FULLAN masuk dalam tiga besar film indie yang diselenggarakan oleh mahasiwa yang bernaung di bawah Departemen Syi’ar dan Kajian Islam Startegis Forum Studi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FSI FEUI). Islamic Movie Days 2011 adalah sebuah ajang apresiasi dan kompetisi film terpuji tingkat nasional. Dengan mengusung “Capturing The Beatiful Way Of Islam” sebagai tema utama, yang mengangkat nilai-nilai Islam didalam dinamika sosial yang akhirnya mengantarkan Fullan masuk dalam tiga besar. saya yakin kota kecil ini sangat bangga dengan prestasinya meskipun kota ini tidak bisa memberikan apresiasi sebagaimana harusnya.
Oke, Apa yang saya pelajari dari dia dan kemenangan si Fullan? hemm...bergeraklah seperti gambar yang terekam dalam sebuah film, meskipun kau hanya sebuah gambar hitam putih. :)

Kamis, 24 Februari 2011

TEH=DESPERATE

Semalam benar-benar malam yang tidak bisa diajak negosiasi, gara-gara tiga hari berturut-turut tidak tidur jadilah saya semalaman demam, yah saya demam bukan demam asmara bukan juga demam medis, karena saya tahu obat penurun demam dengan dosis tinggipun tidak bakal mempan, dan kalaupun saya demam asmara tidak ada penyebab utuk menjadikannya seperti itu.
saya menghentikan aktivitas depan laptop tidak seperti biasanya, langit-langit kamar pun seperti mengkerutkan dahi menatap aneh si pemilik kamar. *dalam hati* ohmygodness apalagi setelah ini, saya berdiri setelah merapikan sudut kamar, mendiamkan diri diatas bantal duduk berwarna merah, nyaman, yah disini nyaman *dalam hati*. saya tahu perasaan saya benar-benar buruk semalam. tiba-tiba saya merasakan suhu tubuh saya berubah, menjalar dari bawah ke atas kemudian berakhir diubun-ubun kepalaku. ohmygodness setelah ini apa lagi...
lagi-lagi saya mencoba mengalihkan perhatian dengan secangkir kopi jahe, sama-sama hangat, biar saja hangat kopi jahe ini saling serang menyerang dengan hangat tubuh saya. tiba-tiba dadaku sesak, serasa penuh dengan segala emosi, tumpah ruah bercampur jadi satu. ohmygodness setelah ini apalagi...
kali ini saya cuma bisa bersembunyi, bersembunyi dari segala rasa dibalik selimut. sunyi, gelap, tapi tidak ada rasa takut. dua cangkir lagi untuk kopi jahe. kepalaku benar-benar berat sekarang, bahkan perut terasa kosong, dan berkali-kali saya bohong kalau saya baik-baik saja. mereply beberapa sms, bbm, bahkan setumpuk pertanyaan yang menunggu jawaban. hingga demam itu benar-benar melebur sampai tertidur.
saya menemui pagi setelah melepas pelukan pada malam. terbangun dengan panggilan telepon yang musti saya jawab dengan kata "penuh" untuk mengawali pagi. "yah saya sudah bangun" kataku pada seorang teman yang memang memaksaku bangun dan melupakan sisa-sisa malam. tiba-tiba saja dia sudah berada didepan kamarku, saya biarkan dia masuk tanpa kata maupun sapa. masih ada sisa-sisa demam, saya langsung menuju dapur meninggal teman saya dengan tingkahnya, sedikit lama saya diam memperhatikan toples yang berjejer didepan saya, tiba-tiba hati saya memilih beberapa sachet berwarna biru bergambar daun yang bertuliskan"sari wangi" kemudian secangkir tehpun jadi...untuk pertama kalinya.

Rabu, 23 Februari 2011

Don’t Worry Long Distance Relationship Won’t Kill You!


This long distance is killing me, I wish that you were here with me, But we’re stuck where we are And it’s so hard,you’re so far, This long distance is killing me (long distance-bruno mars)

Pilihan kebanyakan orang untuk menjalani suatu hubungan (pacaran) adalah “bersama” (baca : memiliki kedekatan fisik). Robert Sternberg, seorang psikolog mengatakan bahwa : keintiman atau kedekatan fisik merupakan elemen emosi, di dalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan (trust) dan keinginan untuk membina hubungan.

Lantas bagaimana dengan Long Distance Relationship (LDR) atau hubungan jarak jauh? Dalam hubungan itu, seseorang membutuhkan waktu yang cukup panjang hanya untuk mencium bau parfum, menggandeng tangan, menatap wajah atau bahkan untuk menikmati malam minggu bersama pasangannya. Tidak heran bagi kebanyakan orang, peluang keberhasilan hubungan ini sangat kecil, terlebih jika dibandingkan dengan hubungan jarak dekat (hubungan ideal pada umumnya). Buku “Would You Do It Again? Relationship Gained in a Long-distance Relationship” karya Mietzner menjelaskan : LDR adalah ketika seseorang berada minimal 50 mil dari pasangannya dan dalam jangka waktu minimal tiga bulan.

Banyak alasan sehingga orang memilih untuk LDR, ada yang karena study, karir, atau karena berasal dari kota berbeda. Seperti cerita Revina, dia berasal dari Palu dan sang pacar berasal dari Medan, mereka bertemu saat kuliah di kota Malang. Mereka menuntut ilmu, saling menjajaki sampai akhirnya sarjana dan kembali ke kota masing-masing. “Cukup berat ketika memulai hubungan jarak jauh ini,” kata Revina. Sebelumnya mereka terbiasa berkomunikasi dengan saling bertatap wajah, saat ini Revina lebih sering menggunakan komunikasi virtual.

Berbeda lagi dengan Joanna, dia memilih LDR karena memang mengenal sang pacar dari dunia maya. Sejak awal berkenalan, berteman, hingga memutuskan pacaran mereka belum pernah bertemu secara fisik. Dan menurut Joanna, hingga setahun ini semua berjalan dengan baik.

Cerita lain bisa kita lihat dari pengalaman teman dekat saya. Dia dan pasangannya menjalani LDR selama empat tahun, dengan hanya delapan kali bertemu, artinya dalam setahun mereka hanya bertemu dua kali. Teman saya sering jalan dengan orang lain, dia sangat santai menjalani LDR (having fun). Menurut dia, mereka (dia dan sang pacar) sudah berkomitmen : selama LDR mereka berhak untuk jalan dan dekat dengan siapa saja. Tetapi pada saat mereka bersama, mereka kembali menjalani aktivitas pacaran normal.

Setiap orang pasti memiliki alasan untuk menjalani LDR. Pada hubungan ini, kesetiaan, kejujuran dan kepercayaan kita benar-benar bekerja. LDR bisa menjadi mudah atau sulit, semua tergantung mindset dalam menjalani hubungan tersebut.

Nobody wants to wait forever

Menjalani LDR pasti bersahabat dengan situasi menunggu. Mulai dari menunggu sms atau telpon, sampai menunggu saat untuk bertatap muka. Olehnya dalam LDR, kehadiran sms, telepon, email, chat, menjadi sangat berarti. Soal komunikasi saat LDR, kita bisa melihat pengalaman Renny yang sudah dua tahun menjalani LDR. “LDR itu hubungan yang berat diongkos, musti siapin dana ekstra. Kalau mau minim budget, musti nunggu tengah malam biar dapat tarif telpon murah, Paginya sempoyongan gara-gara begadang, tapi puas bisa ngobrol sama pacar berjam-jam,” kata Renny, soal hubungannya.

Kekosongan dalam menunggu bisa memicu kandasnya LDR, seperti pengalaman Randy yang LDR-nya hanya bertahan seumur jagung. “Pacar saya orangnya gengsian. Dia selalu menunggu saya untuk menghubungi dia lebih dulu. Pada saat saya lagi sibuk-sibuknya, aktivitas menelpon dan sms ke dia, jadi berkurang. Dia berpikir saya tidak perhatian lagi, kemudian memutuskan saya dan akhirnya dia pacaran dengan temannya yang sering jadi tempat curhat”.

Kondisi menunggu ini bisa disiasati dengan berbagai aktivitas yang positif. Alangkah baiknya jika mengisi waktu menunggu itu dengan mengikuti kegiatan-kegiatan positif misalnya komunitas fotografi, komunitas menulis dan lain-lain. Siapa tahu hubungan LDR bisa menjadi inspirasi untuk menghasilkan karya seperti novel, cerpen, atau kumpulan puisi. Jadi, nikmati saja moment LDR, bukankah kalau menunggu berarti kita juga merindukan dia. Merindukan seseorang itu bagus! Karena itu membuktikan seberapa besar kita mencintai dia.

Be Happy, Communicate, Mutual trust (buat kamu yang menjalani LDR)

Mungkin kamu pernah berpikir “bagaimana mau bahagia? Kalau kamu gak bisa lihat dia waktu kamu benar-benar lagi butuhin dia”. Memang ada benarnya, tapi bukan dia saja yang bisa memberikan kamu kebahagiaan. Kamu masih punya teman-teman atau keluarga, yang bisa menemani kamu melewati hari-hari dalam menjalani LDR.

Kalau kamu bahagia dalam menjalani hubungan sama pasangan kamu, pasanganmu pasti akan lebih bahagia dan akan membawa kebahagiaan buat kamu. Tapi kalau kamu selalu galau dengan hubungan LDR, pasangan kamu justru gak nyaman dan akhirnya berpikir kamu gak bahagia. Pasangan kamu otomatis merasa khawatir, maybe akan timbul lebih banyak lagi pertanyaan dalam benak dia yang mengancam hubungan kamu.

So, tinggalin sikap sedih-sedih kamu itu. Berhenti mikirin dia seharian dengan lagu-lagu sendu. Wake up and be happy, semakin kamu bahagia, maka hubungan jarak jauh kamu akan baik-baik saja.

Dalam sebuah hubungan, komunikasi merupakan senjata paling penting. Nah, kalau hubungan jarak dekat (saja) bisa berantakan gara-gara komunikasi yang buruk apalagi LDR? Sebenarnya kamu bisa menghindari hal ini terjadi, dengan mengatur seberapa sering kamu bisa berhubungan lewat telpon atau chatting, misalnya sehari dua kali atau setiap dua hari telpon-telponan. Komitmen berkomunikasi ini akan memperkecil peluang terjadinya lost contact.

Saya pernah membaca kata bijak seperti ini “Awal dari cinta adalah membiarkan orang yang kita cinta menjadi dirinya sendiri dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kita inginkan. Jika tidak, kita hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kita temukan di dalam dia.” Jadi, jangan pernah berpikir mengubah pacar menjadi pantulan diri kita. Kita mesti mencintainya seperti apa adanya dia, memberikan kepercayaan pada dirinya. Biarkan dia melakukan hal yang dia suka tanpa merasa diawasi oleh kamu. Dalam LDR, ketidakhadiran sang pacar sering mendorong kamu untuk curiga berlebihan.

Saling percaya sangat penting dalam menjalani hubungan jarak jauh, inilah tantangan sebenarnya dari LDR. Saat kamu sedang menumbuhkan rasa saling percaya antara satu sama lain, tiba-tiba kamu juga terjebak dengan rasa paranoid dan posesif. Untuk itu dalam LDR kamu dituntut untuk memiliki rasa percaya dan keyakinan bahwa pasangan kamu tidak akan melihat orang lain saat kalian terpisah. So, dont possessive but positive thinking.